Friday 20 February 2015

Letter

Aku kira aku yang paling menderita.  Sampai hari aku bertemu denganmu lagi yang terlihat tak sanggup menatapku karena mengingatkanmu akan hari itu.

Aku kira aku beruntung. Sampai kamu tunjukkan bahwa kutukan yang kumiliki tak seindah milikmu.

Aku kira hidupku sudah membaik Karena aku sudah terbiasa dengan ketidakberuntungan ini.   Sampai kamu datang dan perjelas semua itu dengan menuduhku. Membuatku kembali merasa yang paling menderita.

Aku kira aku bisa menerima ini, apa yang seharusnya tak terjadi padaku.

Kenapa kamu harus lebih dariku? 
Saat kamu tersihir agar tak pernah menangis walau sedikit saja bersedih, kenapa ia memilihku agar tak pernah tertawa bahkan seutas senyum?
Tidakkah semua ini tak adil?  Semuanya terasa adil untukmu.
Tak bisakah kedua kutukan itu ia berikan padaku saja?

Kamu membenciku, aku tahu itu. Tapi aku tak pernah membencimu sekalipun kamu memaksaku.
Dan aku harap kamu tahu itu.

Potongan surat dari cerita yang dulu sempat ada di pikiran ini tapi tak pernah bisa kutulis.

No comments:

Post a Comment